Senin, 27 Oktober 2008
Hai teman-teman semua,
Terima kasih untuk Pak Herman, Mbak Heni dan Mimi.
Saya menangis membaca 3 postingan kalian : Dear Diary, kisah cinta dari China, dan unconditional love. Tiga artikel yang begitu menyentuh dan saling menguatkan. Ketiganya mengarah ke satu hal : mencintai dan menerima apa adanya, tanpa syarat, tanpa pamrih.
Membacanya membawa saya kembali ke masa-masa dulu, tahun-tahun awal pernikahan kami. Perasaan saya jadi mellow, dan jadi pengen nulis, sekalian menjawab Pak Budiharto dan Mbak Ester…
Saya dulu seangkuh Vella. Di tengah semua kekurangan saya, saya selalu melihat kekurangan suami saya, sehingga kelebihannya menjadi tak berarti. Saya selalu complain bila suami bersikap tidak sesuai dengan yang seharusnya menurut saya. Bahkan saya sempat kehilangan rasa itu. Perasaan cinta dan debar-debar di dada saat pacaran dulu, menguap entah ke mana.
Pertengkaran - pertengkaran acap muncul. Sebenarnya itu tidak bisa disebut pertengkaran, karena hanya sepihak. Suami saya jarang sekali meladeni emosi saya. Dia hanya diam dan memandang saya dengan tatapan yang mungkin yang entah apa maknanya. Parahnya, saya tambah marah karena menurut saya, harusnya dia bicara, mengekspresikan perasaaannya, sehingga saya tahu apa tahu apa sebenarnya alasan dibalik sikapnya. Sampai saya sering bilang, saya kan bukan paranormal yang bisa tahu apa perasaan kamu, so say something, anything. Tapi dia tetap diam, dan saya terbakar sendiri.
Namun bila kemarahan saya sudah reda, entah esok atau kapannya, dia akan menjelaskan pelan-pelan alasannya. Eh sudah begitu, saya tetep aja menyalahkannya. Harusnya begini dong, begitu dong... Pokoknya, hidup ini jadi ruwet banget karena saya selalu menganalisa.
Saking tidak tahu bagaimana caranya untuk mengubah dia agar bersikap seperti yang saya mau, saya dengan kurang ajarnya mengajukan pertanyaan yang begitu angkuh dan sarkastis, "Saya orang yang mau belajar, jadi tolong kasi tahu saya bagaimana caranya agar saya bisa bangga punya suami kamu".
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut saya, sampai saya sendiri kaget dengan kata-kata saya sendiri, dan terdiam, aduh, kok saya kurang ajar banget ya, dia pasti marah…
Dia diam, memandang ke arah saya beberapa saat, bukannya marah seperti yang saya pikir, dia dengan penuh kontrol diri menjawab dengan hanya satu kalimat yang singkat, padat, jelas dan merasuk ke dalam jiwa saya, merontokkan semua ego dan keangkuhan saya selama ini.
“Syukuri apa yang aku punya, dan jangan sesali apa yang tidak aku punya”
Saat itu juga saya tersadar begitu bodohnya saya, lupa akan segala kemuliaan hatinya yang membuat saya jatuh cinta padanya bahkan sejak kami masih kecil. Betapa ego dan segala masalah yang ada dalam diri saya membutakan saya. Saat itu ingin saya menangis dan bersimpuh di kakinya, dan memohon maaf atas semua kesombongan dan kesalahan saya selama ini.
Namun sekali lagi ego itu berkuasa. Dengan masih mengenakan keangkuhan itu saya berkata, “Oke, jawaban itu yang aku mau. Aku benar-benar mau belajar, so bantu aku agar bisa melakukannya”
Sejak itu, setiap dia bersikap salah versi saya, ketika emosi mau naik, saya selalu ingat kalimat itu. Saya pause dulu, lalu saya mengingat-ingat kebaikannya. Kemudian hati saya akan melembut, dan berkata, sebenarnya dia terlalu baik, justru kamu yang harus malu karena begitu banyak kekuranganmu, dan dia menerimamu apa adanya.
Terapi ini membuat saya berubah, dan saya jatuh cinta lagi padanya. Semakin hari semakin mencintainya, dan setiap hari bersyukur bisa menjadi istrinya. Sampai saya merasa saya pasti sudah pernah berbuat kebaikan yang begitu besar sehingga Tuhan memberi saya kesempatan dan kemewahan untuk bersuamikan dia. Saya merasa Tuhan begitu memanjakan saya.
Tiba saatnya saya bertanya, apa yang membuatnya bertahan dan begitu sabar menghadapi saya, saya yang kecil ini dibanding jiwanya yang besar.
“Aku mencintaimu, engkau adalah belahan jiwaku. Seperti sebuah radio yang hanya bisa menyala bila ada powernya. Tanpa power, radio tidak bisa berfungsi. Lalu siapakah yang lebih besar, lebih penting, power atau radio? Tidak ada lebih penting dari yang lain. Semua akan memiliki arti bila bersama. Denganmu, aku hidup. Kamulah motivasi terbesar dalam hidupku selama ini, bahkan sejak aku masih kecil. Dan aku tahu, kamu akan menjadi lebih baik dari hari ke hari, karena kamu mau belajar”.
Berbunga hati saya mendengarnya, namun saya masih belum mendapatkan jawaban yang saya mau. “Tapi apa rahasianya sehingga kamu bisa menerima sikapku selama ini?”.
“Kita tidak bisa mengubah orang lain, kita hanya bertanggungjawab terhadap diri kita sendiri. Bila seseorang sikapnya tidak benar menurut kita, bukan dia yang harus dan bisa kita ubah, tapi diri kitalah yang kita sesuaikan agar kita bisa menerimanya, dan tidak terpengaruh oleh sikapnya. Karena sebenarnya tidak ada yang salah di dunia ini. Yang ada hanyalah tingkat kebenaran yang berbeda. Kita berusaha bergerak dari satu kebenaran ke tingkat kebenaran yang lebih tinggi lagi”.
Kalimat ini tidak mudah saya aplikasikan. Sampai saya bertemu Pak Adi, SC dan seterusnya.
Back to the unconditional love,
dalam kasus saya, suami sayalah yang menerapkannya sejak awal. Bahkan sebelum kami pacaran, saat kami bersahabat sejak kecil. Ketika SMA saya pacaran dengan cowok lain dan backstreet, dialah yang mengantar saya bertemu pacar, mengawasi saya dari jauh, dan mengantar saya pulang, karena orang tua saya hanya percaya padanya. Dari tatapan matanya, saya tahu betul kalau dia mencintai saya. Tapi karena dia tidak pernah mengatakannya, jadi saya putuskan untuk jalan dengan cowok lain.
Ia menunggu sampai kuliah kami selesai, baru kemudian mengungkapkan perasaannya pada saya. Sejak dulu ia begitu yakin kalau saya akan menjadi istrinya, walau kami melewati masa-masa pacaran dengan yang lain.
Sampai sekarangpun saya tidak habis pikir bagaimana dia bisa memanajemen perasaannya pada masa-masa itu. Bagi saya, dia seperti sebuah buku yang saya selalu dapat belajar hal baru darinya. Sebuah buku bernama Kadek.
Sebentar lagi tgl 4 November, hari ulang tahun perkawinan kami yang ke 9. Dan bersama air mata yang setia menemani saya selama menulis ini, ijinkan saya menyampaikan satu hal untuk suami saya, kekasih hati saya. Hanya satu hal : Terima kasih.
(Maaf ya kawan-kawan bila terlalu personal dan bila ada yang kurang berkenan).
O ya untuk mbak Ester, sejak kejadian itu, saya hampir tidak pernah bertengkar sepihak lagi. Kehidupan rumah tangga kami seperti pacaran, waktu dan jarak bukan penghalang. Walau sudah 3 tahun ini kami terpisah kota, suami bekerja di Irian Jaya dan Jakarta, sedang saya dan anak-anak tinggal di Bali, kami saling mempercayai, dan hampir selalu dapat menyelesaikan masalah-masalah rumah tangga dengan kepala dingin. Semoga kami bisa mempertahankannya, atau lebih baik lagi.
Terima kasih dan Salam penuh kasih,
Anie.