Minggu, 30 Agustus 2009
Ada seorang anak lelaki, memiliki hati yang baik, namun memiliki suatu kelemahan, yaitu sifat amat pemarah, dan setiap kali dia marah, selalu mengucapkan kata-kata kasar. Melihat hal itu, amat sedihlah orang tuanya. Lalu berusaha dengan sejuta nasehat, namun terasa sia-sia, karena anak itu tetap saja sia-sia, pada setiap kali anak itu marah, tetap anak itu mengucapkan kata-kata kasar yang melukai.
Pada suatu hari, sang ayah menghampiri sang anak saat di belakang rumah, membawa selembar papan polos bersih, beberapa buah paku, dan sebuah palu, lalu sang ayah berkata, "Nak, setiap kali kamu marah, kamu ambillah paku ini, lalu kamu pukulkan paku ini ke papan polos ini,lampiaskanlah kemarahanmu pada papan ini, sampai marahmu reda."
Lalu anak itu melakukan seperti apa yang ayahnya katakan, setiap marah anak itu marah, dia berlari ke belakang rumah, kemudian memukul paku itu sekuat-kuatnya ke papan itu sampai kemarahannya reda.
Setelah seminggu sang ayah memanggil sang anak ke belakang rumah dan berkata kepada sang anak, "Anakku, sekarang kamu cabutkan paku-paku yang telah kamu tancapkan itu."
Lalu sang anak mencabut paku itu dan berkata kepada sang ayah, "Ayah, susah sekali paku ini dicabut."
Lalu sang ayah berkata, "Kamu merasa susah, itulah kesusahan kita untuk bisa menahan marah dan berdamai dengan orang yang telah kita marahi."
Lanjut sang ayah lagi, "Nach sekarang kamu lihat bekas yang ada khan, itulah luka-luka yang kamu timbulkan saat kamu memarahi orang itu. Setiap kemarahan, pasti akan menimbulkan luka bagi orang lain. Semakin besar kemarahan kamu, semakin dalam paku kamu tancapkan, semakin susah kamu mencabutnya, itu artinya semakin susah kamu berdamai dan semakin besar luka yang kamu tinggalkan. Nach anakku, belajarlah menahan amarah dan emosi. Diamlah pada saat marah, sehingga kemarahan tidak menimbulkan luka pada orang lain."
Fr : Franklin Filbert Irwan
Dari milis kisah2 inspiratif
Jumat, 28 Agustus 2009
Salam semuanya.
Sedikit mo sharing ttg acara tv 'Masihkah kau mencintaiku' .
Pada episod kali ini sungguh memberikan sebuah pencerahan dan pemahaman
makna memaafkan,
terutama bagi kita2 yg masih memiliki orang tua.
Sekilas 'masalah' di acara tsb :
Masalah muncul dimana org tua (ibu) dari si suami dikirim ke Panti Wedha
(jompo) atas usulan sang
istri karena merasa tidak mampu menjaga/merawat sang ibu mertua (lumpuh)
lagi karena keterbatasan
waktunya, kerja dari pagi hingga sore, pulang mengurus anak dan suami.
Sang suami merasa kasihan
ke ibunya namun tidak kuasa juga mencegah. Ternyata disini si suami
berpenghasilan lebih rendah
dari si istri. Terjadi konflik di diri sang suami, 1 sisi merasa tak
kuasa 'melawan' sang istri namun 1 sisi
lagi merasa kasihan memikirkan ibunya di panti tsb. Sementara sang istri
tidak mau dipersalahkan
dalam hal ini. Dan karena tidak adanya komunikasi yg baik, akhirnya
timbul masalah.
Sampai disini saya mengambil hikmah bahwa betapa pentingnya komunikasi
antara suami istri, yang
dilandasi dengan keterbukaan, menanggalkan semua ego masing2, dan mau
saling menghargai.
Apalagi jika ada kaitannya dengan orangtua kita sendiri.
Akhirnya di acara tsb pada sesi akhir dihadirkan sang ibu mertua yang
ternyata sangat bijaksana.
Dia mengatakan bahwa walaupun dia sebenarnya lebih memilih tinggal
bersama anak cucunya,
tapi dengan melihat sikon di keluarga anaknya, dia rela berada di panti
jompo. Dia tidak menyalahkan
menantunya, dia memaklumi sgala kesibukannya, dan dia meminta anaknya
agar akur kembali dgn sang istri.
Seorang ibu yg sangat mandiri dan tidak mau merepotkan anak2nya.
Dan setelah sang ibu mengeluarkan seluruh isi hatinya dan
pengharapannya, akhirnya seluruh
keluarga 'tersadarkan' akan keegoan masing2 dan mau saling memaafkan
satu sama lain dgn penuh
linangan airmata tak terkecuali para penonton, pembawa acara, dan para
advisor juga hanyut
dalam perasaan haru...termasuk saya...hehe
Begitu ampuhnya 'memaafkan' tsb dan merupakan hal yang sangat mudah
dilakukan sebenarnya.
Sebuah pemelajaran berharga bagi kita2 semua, khususnya bagi mereka2 yg
memiliki hubungan
yg kurang harmonis dg mertua. Bagaimanapun orangtua WAJIB dihargai dan
dihormati.
Note :
Hanya tidak tahu apakah "uap" mereka berhasil dikeluarkan semua dan
tekanan sudah hilang seperti
yang dijelaskan Pak Adi WG dalam artikelnya "Forgiveness Is The True
Healer" ... hehe
Salam,
Adi S
Diambil dari milis Money Magnet
Rabu, 26 Agustus 2009
Pagi itu klinik sangat sibuk.
Sekitar jam 9:30 seorang pria berusia 70-an datang untuk membuka jahitan pada luka di ibu-jarinya.
Saya menyiapkan berkasnya dan memintanya menunggu, sebab semua dokter masih sibuk,
mungkin dia baru dapat ditangani setidaknya 1 jam lagi.
Sewaktu menunggu, pria tua itu nampak gelisah, sebentar-sebentar melirik ke jam tangannya.Saya merasa kasihan.
Jadi ketika sedang luang saya sempatkan untuk memeriksa lukanya, dan nampaknya cukup baik dan kering,
tinggal membuka jahitan dan memasang perban baru.
Pekerjaan yang tidak terlalu sulit, sehingga atas persetujuan dokter, saya putuskan untuk melakukannya sendiri.
Sambil menangani lukanya, saya bertanya apakah dia punya janji lain hingga tampak terburu-buru.
Lelaki tua itu menjawab Tidak, dia hendak ke rumah jompo untuk makan siang bersama istrinya, seperti yang dilakukannya sehari-hari.
Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat di sana sejak beberapa waktu dan istrinya mengidap penyakit Alzheimer.
Lalu saya bertanya apakah istrinya akan marah kalau dia datang terlambat.
Dia menjawab bahwa istrinya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak 5 tahun terakhir.
Saya sangat terkejut dan berkata, Bapak masih pergi ke sana setiap hari walaupun istri Bapak tidak kenal lagi?
Dia tersenyum sambil tangannya menepuk tangan saya dan berkata:
"Dia memang tidak mengenali saya, tetapi saya masih mengenali dia, kan?"
Saya terus menahan air mata sampai kakek itu pergi, tangan saya masih tetap merinding.
Cinta kasih seperti itulah yang saya mau dalam hidupku.
Cinta sesungguhnya tidak bersifat fisik atau romantis.
Cinta sejati adalah menerima apa adanya yang terjadi saat ini, yang sudah terjadi, yang akan terjadi, dan yang tidak akan pernah terjadi.
Orang yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki segala sesuatu yang terbaik,
melainkan mereka dapat berbuat yang terbaik dengan apa yang mereka miliki.
- Anonymous -
Kiriman dari seorang teman
Jumat, 07 Agustus 2009
Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia melihat
Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember dan menyikat
lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras. Menyaksikan
keganjilan ini orang itu bertanya, "Apa yang sedang Anda lakukan?"
Sang Guru menjawab, "Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta
nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka. Mereka
pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya merasa
menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena itu,
saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya."
Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang
benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari.
Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor MATERI. Kita merasa
lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor KECERDASAN. Kita merasa
lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor KEBAIKAN. Kita sering
menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus
dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita
mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong
karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena
seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang
lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan
kepercayaan diri (self-confidence) . Akan tetapi, begitu kedua hal ini
berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan
kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.
Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu EGO di satu kutub dan
KESADARAN sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam
keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu,
kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan
dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih
banyak lagi.
Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego
inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan
kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.
Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju KESADARAN sejati.
Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan
paradigma yang perlu kita lakukan.
Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah MAKHLUK
FISIK, tetapi MAKHLUK SPIRITUAL. Kesejatian kita adalah spiritualitas,
sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir
dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong.
Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam
kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan,
label, dan segala "tampak luar" lainnya. Yang kini kita lihat adalah "tampak
dalam". Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai
kesombongan atau ilusi ego.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan,
semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kita memberikan
sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri. Dalam hidup ini
berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak
akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang
lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk
persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam.
Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat
baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apa yang kita sombongkan ?
Dari milis Money Magnet
Sabtu, 01 Agustus 2009
Pujian dapat menghemat uang kita, mempererat hubungan dan menciptakan kebahagiaan. Kita perlu lebih sering menaburnya ke sekitar kita.
Orang yang paling sulit untuk kita puji adalah diri kita sendiri. Saya dibesarkan utk percaya bahwa memuji diri sendiri akan membuat kita menjadi besar kepala. Bukan begitu. Yang benar adalah menjadi besar hati. Memuji kualitas baik dari diri kita sendiri berarti membesarkan hati dengan cara yang positif.
Saat saya masih seorang mahasiswa, guru meditasi pertama saya memberikan sebuah nasihat untuk dipraktekkan.Awalnya beliau menanyakan apa yang pertama-tama saya lakukan begitu bangun pagi.
"Pergi ke kamar mandi," kata saya.
"Apa ada sebuah cermin di kamar mandimu?" tanya beliau.
"Tentu."
"Bagus," katanya. "Nah setiap pagi, bahkan sebelum kamu menggosok gigi, saya ingin kamu menatap cermin dan tersenyum pada dirimu sendiri."
"Pak !" Saya mulai protes. "Saya ini mahasiswa. Kadang-kadang saya tidur sangat larut dan bangun pagi-pagi dengan perasaan kurang enak. Pada pagi-pagi tertentu bahkan saya ngeri melihat wajah saya sendiri, boro-boro tersenyum."
Beliau terkekeh, menatap mata saya dan berkata, " Jika kamu tidak bisa tersenyum secara alami, kamu dapat memakai dua jarimu, taruh di kedua sudut mulut, dan tekanlah ke atas. Seperti ini," Beliau menunjukkan caranya.
Beliau jadi terlihat menggelikan. Saya terkekeh-kekeh melihatnya. Beliau menyuruh saya untuk mencobanya, dan saya menurutinya.
Pada pagi berikutnya, saya mnarik turun diri saya dari tempat tidur, melangkah terhuyung-huyung ke kamar mandi. Saya menatap diri saya di cermin. "Urrrgh!" Itu bukan pemandangan yang manis. Sebuah senyum alami tidak bisa muncul. Jadi saya meletakkan dua jari telunjuk di sudut mulut dan menekannya ke atas. Lantas saya melihat seorang mahasiswa muda bodoh menampilkan wajah tololnya di cermin, dan saya tak tahan untuk tidak tersenyum. Begitu muncul sebuah senyum alami, saya melihat mahasiswa di cermin tersenyum kepada saya. Saya pun tersenyum lebih lebar lagi, dan orang yang di cermin pun membalas dengan senyuman yang lebih lebar juga. Dalam beberapa detik, kami mengakhirinya dengan tertawa bersama.
Saya terus mempraktekkan nasihat itu setiap pagi selama 2 tahun. Setiap pagi, tak peduli bagaimana perasaan saya saat bangun, saya segera tertawa begitu melihat diri saya di cermin, biasanya sih dengan bantuan dua jari. Sekarang orang bilang saya banyak senyum. Barangkali itu karena otot-otot di sekitar mulut saya menetap dalam posisi seperti itu.
Kita dapat mencoba trik dua jari kapan saja, terutama bermanfaat ketika kita merasa sakit, bosan atau tertekan. Tertawa telah terbukti bisa melepaskan hormon endorphin ke dalam aliran darah kita, yang dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh kita dan membuat kita merasa bahagia.
Hal itu akan membantu kita melihat 998 bata bagus di tembok kita, bukan hanya dua bata jelek. Dan tertawa membuat kita terlihat rupawan. Itulah sebabnya kadang saya menyebut vihara kami di Perth sebagai "salon kecantikan Ajahn Brahm"
Disalin dari buku Membuka Pintu Hati oleh Ajahn Brahm
Ada keindahan dalam hal2 yang sederhana.
Tadi ada seekor cicak yang sedang kasmaran dan mengejar betinanya, ada daun kuning jatuh dari pohon besar, ada pula segelas air putih yang nikmat sekali.
Kita hanya puas pada kesuksesan besar, keberhasilan yang hingar bingar, keuntungan yang berlimpah. Tapi pernahkah kita menikmati keindahan pada hal2 yang sederhana.
Enaknya bakso tempat SMA kita dulu, murah, gurih, nikmat, dan penuh keceriaan. Makanan ter enak adalah makanan dekat sekolah kita dulu, terutama bakso, dan juga, ada nostalgia disana.
Indahnya matahari pagi, sedapnya bau tanah yang terguyur hujan, indahnya tawa para pedagang asongan. Lucunya anak2 kecil di kebon binatang, walaupun bau tahi gajah menyenggrang hidung. Gembiranya pembantu yang mau pulang lebaran ketika kita beri baju bekas kita. Adakah hal2 kecil ini membuat anda bahagia? Apakah "inner joy" anda bersorak sorai, ataukah sudah tidak ada lagi "keceriaan nurani" ini dalam kehidupan anda?
Kehidupan bukanlah hanya berisi sederetan rekor kesuksesan dan tonggak tonggak sejarah yang kita taklukkan, tetapi juga berisi rentetan kesederhanaan yang indah dan penuh arti.
Bulan lalu saya ke Selecta, sebuah tempat wisata yang sudah 28 tahun tidak pernah saya kunjungi di kota Batu, Malang, Jawa Timur, dan kembali banyak kenangan indah ketika SMA dulu... Ada kenangan, ada kegembiraan rakyat, ada kesederhanaan yang menawan, masih.
Kenikmatan itu murah, dan mudah, kalau kita tahu bagaimana cara menikmati hidup ini. Kita tidak perlu tersandera oleh dogma kehidupan yang harus mendewakan sukses, jabatan, dan materi. Tapi merasakan rasa indah dalam kesederhanaan yang ada.
Mungkin telah terjadi tujuh puluh dua hal kecil yang indah yang anda lalui hari ini, tetapi mata anda tertutup pada satu proyek yang tidak juga goal itu... Mengapa tidak mencoba mebuka mata kita? Kita bagaikan orang yang berada didalam bus yang melewati jalan2 yang luar biasa indah pemandangannya, tetapi kita tutup gorden penutup jendela bus, sehingga apapun tidak terlihat dari dalam.
Kesedihan dan kegagalan pun merupakan sebagian dari perjalanan kehidupan yang dapat kita imani, dan amini. Biarkan kesedihan itu hinggap sebentar dihati, tapi janga biarkan ia berlama lama disana. Kembalilah melihat keindahan dan kenikmatan kecil yang dapat anda syukuri.
Rasakan apapun yang anda lalui, karena hidup ini cuma perjalanan saja. Dan bagaimana kita memilih cara kita memandang hidup ini, adalah hak kita sendiri. Cobalah menikmati kesederhanaan keindahan itu dan menjalani dengan penuh rasa. Nikmati kehidupan ini.
Oleh Tanadi Santoso
Action & Wisdom Motivation Training
"Wo ba ba shi jian zhu gong ren"
Alkisah, sebuah keluarga sederhana memiliki seorang
putri yang menginjak remaja. Sang ayah bekerja sebagai
tukang batu di sebuah perusahaan kontraktor besar di
kota itu. Sayang, sang putri merasa malu dengan ayahnya.
Jika ada yang bertanya tentang pekerjaan ayahnya,
dia selalu menghindar dengan memberi jawaban yang
tidak jujur. "Oh, ayahku bekerja sebagai petinggi di
perusahaan kontraktor," katanya, tanpa pernah menjawab
bekerja sebagai apa.
Si putri lebih senang menyembunyikan keadaan
yang sebenarnya. Ia sering berpura-pura menjadi anak
dari seorang ayah yang bukan bekerja sebagai
tukang batu. Melihat dan mendengar ulah anak
semata wayangnya, sang ayah bersedih. Perkataan dan
perbuatan anaknya yang tidak jujur dan mengingkari
keadaan yang sebenarnya telah melukai hatinya.
Hubungan di antara mereka jadi tidak harmonis.
Si putri lebih banyak menghindar jika bertemu
dengan ayahnya. Ia lebih memilih mengurung diri di
kamarnya yang kecil dan sibuk menyesali keadaan.
"Sungguh Tuhan tidak adil kepadaku, memberiku ayah
seorang tukang batu," keluhnya dalam hati.
Melihat kelakuan putrinya, sang ayah memutuskan untuk
melakukan sesuatu. Maka, suatu hari, si ayah mengajak
putrinya berjalan berdua ke sebuah taman, tak jauh
dari rumah mereka. Dengan setengah terpaksa, si putri
mengikuti kehendak ayahnya.
Setelah sampai di taman, dengan raut penuh senyuman,
si ayah berkata,
"Anakku, ayah selama ini menghidupi dan membiayai
sekolahmu dengan bekerja sebagai tukang batu.
Walaupun hanya sebagai tukang batu, tetapi ayah adalah
tukang batu yang baik, jujur, disiplin, dan jarang
melakukan kesalahan. Ayah ingin menunjukkan
sesuatu kepadamu, lihatlah gedung bersejarah yang ada
di sana. Gedung itu bisa berdiri dengan megah dan indah
karena ayah salah satu orang yang ikut membangun.
Memang, nama ayah tidak tercatat di sana,
tetapi keringat ayah ada di sana.
Juga, berbagai bangunan indah lain di kota ini di mana
ayah menjadi bagian tak terpisahkan dari
gedung-gedung tersebut. Ayah bangga dan bersyukur bisa
bekerja dengan baik hingga hari ini."
Mendengar penuturan sang ayah, si putri terpana.
Ia terdiam tak bisa berkata apa-apa. Sang ayah pun
melanjutkan penuturannya,
"Anakku, ayah juga ingin engkau merasakan kebanggaan
yang sama dengan ayahmu. Sebab, tak peduli apa pun
pekerjaan yang kita kerjakan, bila disertai
dengan kejujuran, perasaan cinta dan tahu untuk apa
itu semua, maka sepantasnya kita mensyukuri nikmat itu."
Setelah mendengar semua penuturan sang ayah, si putri
segera memeluk ayahnya. Sambil terisak, ia berkata,
"Maafkan putri, Yah. Putri salah selama ini.
Walaupun tukang batu, tetapi ternyata Ayah adalah
seorang pekerja yang hebat. Putri bangga pada Ayah."
Mereka pun berpelukan dalam suasana penuh keharuan.
Pembaca yang budiman,
Begitu banyak orang yang tidak bisa menerima keadaan
dirinya sendiri apa adanya. Entah itu
masalah pekerjaaan, gelar, materi, kedudukan,
dan lain sebagainya. Mereka merasa malu dan rendah diri
atas apa yang ada, sehingga selalu berusaha menutupi
dengan identitas dan keadaan yang dipalsukan.
Tetapi, justru karena itulah, bukan kebahagiaan
yang dinikmati. Namun, setiap hari mereka hidup dalam
keadaan was was, demi menutupi semua kepalsuan.
Tentu, pola hidup seperti itu sangat melelahkan.
Maka, daripada hidup dalam kebahagiaaan yang semu,
jauh lebih baik seperti tukang batu dalam kisah di atas.
Walaupun hidup pas-pasan, ia memiliki kehormatan dan
integritas sebagai manusia.
Sungguh, bisa menerima apa adanya kita hari ini
adalah kebijaksanaan. Dan, mau berusaha memulai dari
apa adanya kita hari ini dengan kejujuran dan kerja
keras adalah keberanian!
Salam Sukses Luar Biasa!!!!
Andrie Wongso
Seorang petani kaya mati meninggalkan kedua putranya. Sepeninggal ayahnya, kedua putra ini hidup bersama dalam satu rumah. Sampai suatu hari mereka bertengkar dan memutuskan untuk berpisah dan membagi dua harta warisan ayahnya. Setelah harta terbagi, masih tertingal satu kotak yang selama ini disembunyikan oleh ayah mereka.
Mereka membuka kotak itu dan menemukan dua buah cincin di dalamnya, yang satu terbuat dari emas bertahtakan berlian dan yang satu terbuat dari perunggu murah. Melihat cincin berlian itu, timbullah keserakahan sang kakak, dia menjelaskan, “Kurasa cincin ini bukan milik ayah, namun warisan turun-temurun dari nenek moyang kita. Oleh karena itu, kita harus menjaganya untuk anak-cucu kita. Sebagai saudara tua, aku akan menyimpan yang emas dan kamu simpan yang perunggu.”
Sang adik tersenyum dan berkata, “Baiklah, ambil saja yang emas, aku ambil yang perunggu.” Keduanya mengenakan cincin tersebut di jari masing-masing dan berpisah. Sang adik merenung, “Tidak aneh kalau ayah menyimpan cincin berlian yang mahal itu, tetapi kenapa ayah menyimpan cincin perunggu murahan ini?” Dia mencermati cincinnya dan menemukan sebuah kalimat terukir di cincin itu: INI PUN AKAN BERLALU. “Oh, rupanya ini mantra ayah…,” gumamnya sembari kembali mengenakan cincin tersebut.
Kakak-beradik tersebut mengalami jatuh-bangunnya kehidupan. Ketika panen berhasil, sang kakak berpesta-pora, bermabuk-mabukan, lupa daratan. Ketika panen gagal, dia menderita tekanan batin, tekanan darah tinggi, hutang sana-sini. Demikian terjadi dari waktu ke waktu, sampai akhirnya dia kehilangan keseimbangan batinnya, sulit tidur, dan mulai memakai obat-obatan penenang. Akhirnya dia terpaksa menjual cincin berliannya untuk membeli obat-obatan yang membuatnya ketagihan.
Sementara itu, ketika panen berhasil sang adik mensyukurinya, tetapi dia teringatkan oleh cincinnya: INI PUN AKAN BERLALU. Jadi dia pun tidak menjadi sombong dan lupa daratan. Ketika panen gagal, dia juga ingat bahwa: INI PUN AKAN BERLALU, jadi ia pun tidak larut dalam kesedihan. Hidupnya tetap saja naik-turun, kadang berhasil, kadang gagal dalam segala hal, namun dia tahu bahwa tiada yang kekal adanya. Semua yang datang, hanya akan berlalu. Dia tidak pernah kehilangan keseimbangan batinnya, dia hidup tenteram, hidup seimbang, hidup bahagia.
inilah hidup sebagai manusia seperti rumput di padang yang mati dan berganti setiap waktu. Relasi bisa datang dan pergi tanpa pernah bisa berhenti. Kemanusiaan yang terbatasi oleh banyak hal. semuanya pasti akan berlalu. ada waktu untuk mencintai. ada waktunya.
diambil dari notes Rm Yulius Hirnawan