Rabu, 03 September 2008
Beberapa bulan yang lalu di meja pemesanan kamar hotel,
saya melihat suatu
kejadian yang sangat mengesankan: betapa sulitnya menjadi
resepsionis.
Saat itu sekitar pukul lima sore, petugas resepsionis hotel
sibuk
mendaftar tamu-tamu baru. Orang di depan saya memberikan
namanya kepada
pegawai di belakang meja dengan nada memerintah. Laki-laki
berwajah
sumringah itu pun berkata, "Baik, Bapak, kami sediakan
satu kamar single
untuk Anda."
"Single?" bentak orang itu, "saya memesan
double!"
Pegawai hotel tersebut berkata dengan sopan, "coba
saya periksa sebentar."
Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata,
"Maaf, Bapak,
telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sekali
menempatkan Anda
di kamar double kalau memang ada. Tetapi semua kamar double
sudah penuh."
Tamu yang berang itu berkata, "Saya tidak peduli apa
bunyi kertas itu,
saya mau kamar double!"
Kemudian ia mulai bersikap 'kamu-tahu-siapa- saya',
diikuti dengan "saya
akan usahakan agar kamu dipecat. Kamu lihat nanti. Saya
akan buat kamu
dipecat."
Di bawah serangan gencar, pegawai muda tersebut menyela,
"kami menyesal
sekali tidak bisa memenuhi permintaan Bapak, tetapi kami
bertindak
berdasarkan instruksi Anda."
Akhirnya, sang tamu yang terbakar amarah itu berkata,
"saya tidak akan mau
tinggal di kamar yang terbagus di hotel ini sekarang.
Manajemennya
benar-benar buruk!" Dan ia pun keluar.
Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si pegawai
pasti masih
memasang wajah masam setelah baru saja dimarahi
habis-habisan. Sebaliknya,
ia menyambut saya dengan salam yang ramah sekali
"Selamat malam, Bapak."
Ketika ia mengerjakan tugas rutin yang biasa dalam mengatur
kamar untuk
saya, saya berkata kepadanya, "saya mengagumi cara
Anda mengendalikan diri
tadi. Anda benar-benar sabar."
"Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda
lihat, ia
sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban
pelampiasan
kemarahannya. Orang yang malang tadi mungkin baru saja
ribut dengan
istrinya, atau bisnisnya mungkin sedang lesu, atau
barangkali ia merasa
rendah diri, dan ini adalah peluang emasnya untuk
melampiaskan
kekesalannya. "
Pegawai tadi menambahkan, "pada dasarnya ia mungkin
orang yang sangat
baik. Kebanyakan orang begitu."
Sambil melangkah menuju lift, saya mengulang-ulang
perkataannya, "pada
dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan
orang begitu."
Ingat dua kalimat itu kalau ada orang yang menyatakan
perang pada Anda.
Jangan membalas. Cara untuk menang dalam situasi seperti
ini adalah
membiarkan orang tersebut melepaskan amarahnya, dan
kemudian lupakan saja.
Sumber :http://layar.suaramerdeka. com/index. php?id=322