Senin, 01 September 2008

Piring kayu & gelas bambu



SEORANG lelaki tua yang baru ditinggal mati isterinya tinggal
bersama anaknya, Arwan dan menantu perempuannya, Rina

serta cucunya, Viva yang baru berusia enam tahun.

Tangan lelaki tua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu.
Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih.

Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang
orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya

yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap
makanan.
Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah.
Sebenarnya dia merasa malu seperti itu di depan anak menantu,
tetapi dia gagal menahannya. Oleh karena kerap sekali dilirik
menantu, selera makannyapun hilang. Dan tatkala dia memegang gelas
minuman, pegangannya terlepas. Praaaaaannnnngggggg !!
Bertaburanlah serpihan gelas di lantai dan minuman itu tumpah

membasahi taplak.
Pak tua menjadi serba salah. Dia bangun, mencoba memungut
serpihan gelas itu, tapi Arwan melarangnya. Rina cemberut,
mukanya masam. Viva merasa kasihan melihat kakeknya, tapi dia
hanya dapat melihat untuk kemudian meneruskan makannya.
Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. "Kita harus lakukan
sesuatu, ujar sang istri. "Aku sudah bosan membereskan semuanya
untuk pak tua ini."
"Esok ayah tak boleh makan bersama kita," Viva mendengar ibunya
berkata pada kakeknya, ketika kakeknya beranjak masuk ke dalam kamar.

Arwan hanya membisu.
Sempat anak kecil itu memandang tajam ke dalam mata ayahnya.
Demi memenuhi tuntutan Rina, Arwan membelikan sebuah meja kecil
yang rendah, lalu diletakkan di sudut ruang makan. Di situlah
ayahnya menikmati hidangan sendirian, sedangkan anak menantunya makan

di meja makan. Karena sering memecahkan piring, keduanya
juga memberikan piring kayu & gelas bambu untuk si kakek. Viva
juga dilarang apabila dia merengek ingin makan bersama kakeknya.

Air mata lelaki tua meleleh mengenang nasibnya diperlakukan
demikian.
Ketika itu dia teringat kampung halaman yang ditinggalkan.

Dia terkenang arwah isterinya.
Lalu perlahan-lahan dia berbisik: "buruk benar perlakuan anak
kita."
Sejak itu, lelaki tua merasa tidak betah tinggal di situ.
Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak
sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat
keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu
omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.

Suatu malam, Viva terperanjat melihat kakeknya makan
menggunakan piring kayu, begitu juga gelas minuman yang dibuat dari bambu.

Dia mencoba mengingat-ingat, di manakah dia pernah melihat piring seperti
itu. "Oh! Ya..." bisiknya.
Viva teringat, semasa berkunjung ke rumah sahabat papanya dia melihat

tuan rumah itu memberi makan kucing-kucing mereka menggunakan piring yang
sama!
"Tak akan ada lagi yang pecah, kalau tidak begitu, nanti habis piring
dan mangkuk ibu," kata Rina apabila anaknya bertanya.

Seminggu kemudian, sewaktu pulang bekerja, Arwan dan Rina
terperanjat melihat anak mereka sedang bermain dengan kepingan-kepingan kayu.

Viva seperti sedang membuat sesuatu. Dengan lembut ditanyalah anak itu.

"Kamu sedang membuat apa?".
Anaknya menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan
ibu
untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu,
dekat tempat kakek biasa makan." Anak itu tersenyum dan melanjutkan

pekerjaannya.

Begitu mendengar jawaban anaknya, Arwan terkejut. Jawaban itu
membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul.

Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Perasaan Rina terusik.

Kelopak mata kedua-duanya basah.

Jawaban Viva menusuk seluruh jantung, terasa seperti
diiiris pisau. Mereka tersentak, Walau tak ada kata-kata yang
terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki,

selama ini mereka telah berbuat salah !

Malam itu Arwan menuntun tangan ayahnya ke meja makan. Rina
menyendokkan nasi dan menuangkan minuman ke dalam gelas. Nasi
yang tumpah tidak dihiraukan lagi.

Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh,
makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa
makan bersama lagi di meja utama.

MORAL OF THE STORY -

Teman, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan
selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan
pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan.
Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan
orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh
mereka saat dewasa kelak.

Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap "bangunan jiwa"

yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.

Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita,
untuk masa depan kita, untuk semuanya. Sebab, untuk mereka lah kita
akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah
sama halnya dengan tabungan masa depan.

============ ========= ========= ========= ========= ========
Jika anak hidup dalam kritik, ia belajar mengutuk

Jika anak hidup dalam kekerasan, ia belajar berkelahi

Jika anak hidup dalam pembodohan, ia belajar jadi pemalu

Jika anak hidup dalam rasa dipermalukan, ia belajar terus merasa bersalah

Jika anak hidup dalam toleransi, ia belajar menjadi sabar

Jika anak hidup dalam dorongan, ia belajar menjadi percaya diri

Jika anak hidup dalam penghargaan, ia belajar mengapresiasi

Jika anak hidup dalam rasa adil, ia belajar keadilan

Jika anak hidup dalam rasa aman, ia belajar yakin

Jika anak hidup dalam persetujuan, ia belajar menghargai diri sendiri
Jika anak hidup dalam rasa diterima dan persahabatan, ia belajar
mencari cinta di seluruh dunia.

Tentu
hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan esok harus lebih baik dari hari ini dan tentu kita selalu berharap generasi yang akan datang harus lebih baik dari kita.

Dari milis Money Magnet

0 Comments:

Post a Comment